Arsip Blog

Mestikah Kearifan Lokal Menghambat Konsistensi Pemerintah Pusat & Daerah Dalam Menjalankan Sistem Pemerintahan Yang Baik Dan Transparan?

Nilai-nilai kearifan local itu katakanlah seperti unggah-ungguh yang menurut Dr Purwadi M.Hum dalam bukunya yang berjudul Ensiklopedi Adat-istiadat Budaya Jawa, merupakan hubungan bersama dengan orang lain yang tetap memperhatikan empan dan papan, waktu dan tempat, posisi dan status, jabatan dan kedudukan seseorang. ( Baca buku Purwadi, 2006), hormat terhadap orang tua atau yang dituakan, hormat terhadap darah biru dan lain sebagainya. Terkait dengan pemberantasan korupsi sebagai Konsistensi Pemerintah Pusat & Daerah dalam menjalankan sistem pemerintahan yang baik dan transparan sebagai tema dari kajian ini, terdapat nilai-nilai budaya yang pada situasi tertentu memiliki kontribusi terhadap usaha korupsi dan atau membantu prilaku korupsi dengan cara KKN. Beberapa prilaku  korupsi yang terdapat di masyarakat yang berhasil diidentifikasi teman-teman peneliti serta para pegiat anti korupsi melalui informasi dari para informan yang  dipublikasikan antara lain pemimpin yang tidak membayar kewajiban atas pelayanan publik karena bawahan enggan memintanya, penyimpangan pemimpin dan bawahan sulit menegurnya. Selain itu ada juga prilaku memotong prosedur alias  potong kompas yang seharusnya dan atau by pass di saat proses pelayanan berlangsung, seperti pembayaran pajak, ijin, pembuatan KTP dsb. Kasus-kasus lainnya seperti pemotongan biaya yang menjadi hak masyarakat ketika mendapatkan bantuan,  dan atau tambahan biaya dari yang seharusnya, namun rakyat  memilih diam dengan alasan menghindari konflik. Perilaku tidak berani menegur tanpa pandang bulu tidak bisa dilepaskan dari nilai kearifan lokal tadi. Kearifan lokal itu sering disebut dengan istilah jawa sebagai kejawen. Secara umum kejawen merupakan pengetahuan yang menyeluruh yang digunakan untuk menafsirkan kehidupan sebagaimana adanya atau sebagaimana rupanya. Kejawen menurut Mulder membagi dunia ke dalam dua konsepsi yaitu lahir (lair) serta batin (rasa). Kedua dunia itu menghiasi tatanan hidup yang merupakan keseluruhan yang teratur serta terkoordinasi yang harus diterima dan atau terhadapnya orang harus menyesuaikan diri semacam perlakuan terhadap bak Nabi dan atau Rasul palsu. Oleh karenanya muncul konsep lainnya seperti harus menerima, yang lahir sebagai konsepsi dari tahu tempat diri yang berarti percaya pada nasib serta berterima kasih kepada Tuhan dengan kacamata yang diragukan, karena seakan berpura-pura ada kepuasan dalam memenuhi apa yang menjadi bagiannya dengan kesadaran bahwa semua telah ditetapkan. Dalam prakteknya, menurut Mulder, tatanan kehidupan menempatkan orang tua sebagai wakilnya dan atau mereka berhak atas penghormatan serta kebaktian. Penghormatan kepada orang yang lebih tua dianggap sebagai penghormatan terhadap mereka yang lebih dekat dengan sumber kehidupan. Maka melanggar aturan itu seperti dengan menyakiti hati dan atau lainnya akan mendatangkan pembalasan berupa hukuman  (walat)  dari kekuatan gaib. Kejawen dan atau kejawaan sama halnya dengan pengertian Inggris Javaneseness / javanism (Echols, 193 dalam Mulder 1996)  . Kejawen lebih merupakan etika serta gaya hidup kejawaan ketimbang sebuah agama. Baca buku Mulder, Neils, “Pribadi dan Masyarakat di Jawa”, penerbit Pustaka Sinar Harapan!

Pandangan kejawen mengenal konsep hirarkis yang jelas, yang diperkuat juga oleh penjelasan Mulder, bahwa di dalam hubungan antar pribadi tidak ada dua orang yang sederajat. Akibatnya tidak mengherankan jika pembedaan-pembedaan itu tidak hanya terjadi berdasarkan tingkatan usia yang berbeda, namun lebih variatif lagi yaitu terjadi pada dimensi kehidupan sosial mereka seperti gagasan bahwa orang lebih tinggi kedudukannya agaknya lebih dekat kepada kebenaran, karena itu berhak dihormati  sekalipun keluarga jadi korban prilaku ketidakbenaran diri akhli keluarganya. Mulder menambahkan nilai rasa malu memperkuat sikap menahan diri serta membatasi diri, cenderung menghindar diri akan berkembang terutama dalam hubungan dengan orang yang dianggap lebih tinggi. Sikap ini setara dengan sungkan eyuh-pakeuh.  Dalam konteks hubungan atasan dengan bawahan, pemimpin harus bisa menguasai bawahan serta keadaan yang sampai kajian dirilis masih bertahan namun ironisnya terkesan tanpa harus mampu memperhatikan bawahan dan atau simpati (tepa selira) yang sudah mulai luntur karena mungkin juga akan jadi korban penguasaan bawahan yang kurang mendapat pengajaran tepa selira.  Sedangkan kebalikannya tidaklah selalu sama megingat bawahan selalu dituntut harus bisa mengukur tugas-tugasnya, sehingga jangan sampai menimbulkan kekurangajaran. Kondisi ini memunculkan jarak antara pemimpin dengan bawahan semakin jauh bahkan enggan untuk bertegur sapa dengan sebab yang tidak jelas dalam pandangan umum akhli curang biasa enggan dengan akhli kebenaran mungkin malu kalau kecurangannya akan tercium, kuatnya rasa takut sebagai rasa segan. Praktik-praktik korupsi dan atau kolusi yang sering ditemui dalam pemberitaan masmedia  sehari-hari sedikit banyak dapat dijelaskan oleh konsep budaya di atas. Rasa sungkan untuk menegur atasan yang membuat kesalahan prosedural dijadikan usaha menjalankan nilai-nilai kearifan lokal untuk menjaga tatatanan serta keharmonisan masyarakat dengan menghindari masalah, apalagi sampai menimbulkan konflik. Pada akhirnya sikap menerima juga ikut memperkuat toleransi yang terjadi terhadap penyimpangan-penyimpangan, karena dilihat sebagai kondisi yang sudah seharusnya terjadi. Akibatnya, situasi ini seringkali mengganggu tidak hanya bagi tatanan pemerintahan yang transparan, namun lebih personal sebagai sebuah godaan bagi integritas sebagai salah satu pilar jalannya transparansi menjadi penyimpangan nyata sebagai kesalahpahaman atas sumber kebenaran hakiki dari sang pencipta Yang Maha Kuasa Allah SWT tuhan semesta alam, sehingga budaya seperti diatas berpotensi menimbukan kerancuan dalam mengenal hal benar apalagi menegakkannya seolah menjadi jamak dan atau adanya standar hidup ganda yang tak jarang kontras dengan ajaran agama sebagai sumber kebenaran yang diguguh pendiri bangsa sebagai refresentasi cita-cita kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam dasar negara pancasila sila pertama yakni Ketuhanan Yang maha Esa. Yang kerab terjadi ke-Esa-anNya dan atau ke-Esa-anmu. Allohua’lam