Pentingnya Tauhid! Agar setiap potensi kesadaran tetap lurus dalam koridor alur benar

Ke-SADAR-an fitrahnya benar, guna mempersepsi realitas benar dan salah, dan respon beserta persepsi perseptornya pun tentu bisa dan harus diupayakan selalu benar.   Dan tak sebatas potensi kecerdasan saja. Bahkan setiap potensi kesadaran lainnya yaitu seluruh sifat insani hingga semua anggota jasad-raga pun, fitrahnya adalah : benar dan konsisten benar.   Semua ini sangat penting untuk kita sadari. Semua itu fakta bahwa fitrah segenap potensi kesadaran konvergen beriman dan mengabdi.  Hingga konvergen mengEsakan Rabb Allah SWT Tuhan alam semesta jagadrayamaya.  Bila fitrah kecerdasan selalu benar sehingga konvergen benarnya, tapi faktanya tak sedikit manusia yang seolah amat cerdas  (pintar) dan kepintarannya itu cenderung buruk, bahkan nampak jahat. Sebab perilakunya kerap merusak atau mengakibatkan defects bagi manusia dan mahluk lain, dengan berbagai skala kerusakannya. Bila dari persfektif  akal perilaku yang berakibat defects dan dosa itu karena rancu berpikir (menolak benar), maka dari sisi akal budi hal itu ‘bermula’ saat sang instink nafsu (di ranah kecerdasan nurani) juga telah keluar dari tatanan alur benar.    Sehingga secara istilah kecerdasan  adalah gabungan  potensi  akal  pikir  dan  akal  budi,  disebutlah lawan dan atau anti-tesisnya kecerdasan, yaitu anti-kecerdasan.  Fenomena anti-kecerdasan (kita sebut saja cerdik, dalam konteks cerdas tapi picik), akan selalu nampak pada  individu-individu yang amat pintar di berbagai hal, namun kepintarannya  itu malah berakibat buruk, karena orientasinya selalu untuk kepentingan duniawi bagi diri dan atau kelompoknya sendiri yang bersifat sesaat (sementara).     Tapi mengakibatkan mudharat bagi orang lain (kaum mayoritas). Kaliber cerdikin inipun sejenis manusia anti-bersyukur, yang telah memilih keluar; memutus dirinya sendiri dari koridor alur benar yang penting bagaimana bisa berkuasa dan atau seakan ingin menyatakan bahwa kebenaran itu hanya kekuasaan tanpa kekuasaan maka kebenaran bisa jadi salah.

Bila  indikator  berfungsinya  kecerdasan manusia  jika  perilakunya bermanfaat serta zero defect, maka indikasi cerdiknya manusia ini nampak dari akibat perilaku fasiknya yang selalu memuat defects.  Kecerdasan akal yang telah berubah ujud jadi rancu akal itu, selalu berkait erat dengan nafsu yang telah belok menjadi hawa nafsu. Yaitu di saat perseptornya telah terkena bujukan, rayuan dan atau tipuan iblis. Rancu akal dan atau hawa nafsu selalu  pada akur, yaitu saling berkorelasi di jalur perkeliruan. Indikasinya pun nampak saat suatu persepsi telah terputus dari alur benar, yang dimulai ketika sesuatu hal direspon secara melampaui batas (QS Al Maaidah : 87). Atau direspon secara tidak proporsional, alias dilebihkurangkan. Dan hal melampaui batas selalu cenderung menzalimi diri sendiri. Kalibernya ada yang sebatas tak baik, cela, hingga berujud dosa. Sebagai salah satu potensi naluriah yang fitrahnya baik dan benar, nafsu  selalu mendorong manusia  untuk mencari  berbagai  kenikmatan positif (yang bermanfaat) serta menghindari rasa sakit menyakiti pilu menyakitkan. Misal saat seseorang lapar, lalu muncul selera (nafsu) makannya. Atau saat menyebrang dimana ia melirik dulu ke kanan dan ke kiri. Mungkin juga ke atas dan ke bawah.  Menengok kanan-kiri untuk bersiaga bila ada kendaraan lewat, karena ia takut (sakit) tertabrak. Dan bolehlah melihat ke atas, juga ke bawah, sebab barangkali ada dahan pohon jatuh atau jalannya berlubang, agar ia tak terperosok. Tapi tentu tak baik jadinya bila karena ingin menjadi langsing, ada orang menahan lapar. Tak makan apapun selama 3 hari 3 malam.     Atau sebaliknya.   Karena lapar dan amat nikmat, seseorang makan secara gembul-berlebihan, hingga 3 bakul nasi ia habisi sendirian. Nafsu juga nampak pada sosok yang gemar beribadah, misal insan mu’min yang istiqamah beribadah sunah (misal tahajud, puasa, dsb.).    Nafsu  yang  sangat  baik  dalam  hal  ibadah-ibadah  seperti  itupun bisa saja berubah menjadi hawa nafsu (syahwat). Contohnya ketika seseorang setiap hari – tanpa putus – beritikaf di masjid hingga meninggalkan kewajiban mencari nafkah. Ibadah  seperti  itu  jelas  tidak  proporsional,  berlebihan,  sehingga dicela dan dilarang oleh Rasulullah SAW (HR Shahih Bukhari). Adapun hal-hal melampaui batas yang berujud dosa sebagai akibat kecerdikan  manusia,  dewasa  ini  sudah  sangat  bersimaharajalelahlah terjadi di belahan bumi manapun.     Sehingga  ada  kalangan yang menyebut kini sebagai jaman edan.   Di tanah air bahkan ada yang mengilustrasi betapa carut-marut negeri kita ini ke dalam sebentuk puisi  tentang  para  bedebah.      Sebab  semua  itu  ulah  si  bedebah, kaum  cerdikin, dan atau  apapun  istilahnya,  yang  intinya  ialah  ulah manusia-manusia berspirit kafar, mahluk-mahluk anti-Tauhid (pintar bodoh yang cerdik). Berdasar realitas faktawi selalu terjadinya intervensi antar manusia maka  setiap  bentuk  kecerdikan  yang  seperti  apapun  besarannya, lambat laun  ataupun  secepat  kilat  cahaya,  pada  gilirannya  tentu akan mengintervensi  insan-insan  lain hingga  skala  komunitas  ke arah  jalur  perkeliruan.    Dan  pada  saatnya  pula,  dapat  berakibat menjerumuskan hingga menggiring semuanya ke lembah dosa. Nampaklah betapa penting respon perilaku (ikhtiar) memperlakukan setiap potensi kesadaran agar tetap lurus dalam koridor alur benar, yang salah satu tolok-ukurnya ialah nilai-nilai proporsionalitas. Agar terhindar dari dosa, proporsi tiap perilaku itu secara preventif mesti dimulai sejak menghindari hal-hal yang tak baik sekalipun. Target tiap ikhtiar itu agar kecerdasan tak berubah jadi kecerdikan, dan fitrah nafsu-nafsu insaniah tidak berbelok menjadi syahwat. Dan  inti tujuannya agar segenap potensi diri  tetap konsisten pada fitrahnya, Tauhid Megawal Ke-SADAR-an! yaitu : senantiasa konvergen mengEsakan Rabb Allah SWT Tuhan semesta alam jagadrayamaya sehingga setiap potensi kesadaran agar tetap lurus dalam koridor alur benar. Insa Allah

Tinggalkan komentar